Tumpeng Nusantara bukanlah sesajen premis. Ini perlu kita mengerti agar tidak terjebak dalam wacana musyrik atau syirik yang acapkali mewarnai tradisi seperti ini.
Lepas dari urusan keberagamaan, Tumpeng Nusantara adalah upaya melestarikan kuliner pusaka dalam konteks tradisi dan budaya sesuai dengan doktrin Trisakti yang dulu sering diucapkan Bung Karno, yaitu: berdaulat dalam politik, berswadaya dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Pencanangan Tumpeng Nusantara
Menjelang akhir tahun 2012, Menteri Pariwisata dan Ekonomi kreatif Mari Elka Pangestu mencanangkan ikon kuliner tradisional Indonesia yang diawali dengan 30 jenis sajian dari seluruh daerah Indonesia.
Pencanangan ini dimaksudkan untuk melestarikan kuliner tradisional Indonesia, di samping juga untuk menguatkan kesadaran akan kekayaan budaya kuliner bangsa kita, serta sebagai langkah awal untuk mempromosikan kuliner Indonesia ke ranah global.
Pengikat dari ke-30 ikon kuliner tradisional Indonesia ini adalah Tumpeng Nusantara.
Nomenklatur tumpeng Nusantara ini sengaja dihadirkan untuk membedakannya dari tumpeng yang digunakan menjadi sebagai bagian dari rangkaian upacara dalam tradisi dan mitologi Jawa.
Baca juga: 10 Kuliner Tradisional Surakarta Yang Kini Dirindukan
Jadi, Tumpeng Nusantara adalah bentuk modern dan profan/awam dari tumpeng yang purba dan sakral.
Secara metologis Jawa, tumpeng selalu hadir dalam semua ritual perlintasan (rite de passage), mulai dari kelahiran hingga kematian – termasuk hari lahir, kehamilan, ruwatan, ucapan syukur atas panen yang melimpah, permohonan untuk perlindungan, keselamatan, dan berkah.
Kita mengenal bermacam-macam tumpeng untuk upacara seperti itu, misalnya: tumpeng robyong, tumpeng Pungkur, dan lain-lain.
Ternyata suku Dayak pun mengenal tumpeng yang disebut sebagai penginan simpan.
Lauk pauk sebagai ubarampe atau pelengkap tumpeng juga harus disesuaikan dengan tujuan pengadaan tumpeng. Misalnya untuk memohon berkah harus dilengkapi dengan tujuh macam lauk, sesuai dengan kata pitulungan dalam bahasa Jawa yang bermakna memohon Pertolongan Allah.
Bentuknya yang mengerucut identik dengan bentuk gunungan dalam wayang kulit yang merupakan simbolisasi alam semesta dengan Allah di puncak kerucut – sekalipun ada pula yang memakainya sebagai simbolisasi topografi alam nusantara yang bergunung-gunung.
Pada umumnya, tumpeng adalah cara penyajian nasi berbentuk kerucut, dikitari oleh lauk pauknya.
Mengikuti cara penyajian aslinya, Tumpeng Nusantara dapat disajikan di atas tampah atau bagi yang dialasi daun pisang dan disantap secara komunal (seperti dahar kembul di Jawa, megibung di Bali, atau bajamba di Ranah Minang). Tetapi, tumpeng Nusantara juga dapat disajikan sebagai individual platter – sepiring untuk seorang.
Foto diatas merupakan salah satu contoh Tumpeng Nusantara yang menampilkan berbagai ikon kuliner tradisional dari daerah-daerah Indonesia, yaitu: sangu hideung alias nasi hitam dari Tatar Sunda, perkedel milu dari Sulawesi Utara, pecel sambal wijen dari Jawa Tengah, ayam pinadar dari Sumatera Utara, dendeng batokok dari Sumatera Barat, ikan seluang dari Sumatera Selatan, Kandas Sarai dari Dayak – disertai beberapa kondimen seperti Sambal Matah Bali dan emping Banten.
Macam-macam Tumpeng Nusantara
Beberapa contoh Tumpeng Nusantara yang memadu-padankan kuliner tradisional berbagai daerah lain, misalnya:
- Tumpeng nasi kuning: ayam bumbu rujak (Jawa Timur), plecing kangkung (Lombok), ikan bakar rica (Minahasa), Kanaik (tumis perut ikan, Dayak).
- Tumpeng nasi gurih/uduk: bebek nyatnyat (Karangasem, Bali), Trancam (Jawa Tengah), perkedel nike (Minahasa), kalio daging sapi (Minang).
- Tumpeng nasi merah: ikan pesmol (Sunda), ayam langkueh (Sumatera Barat), beberuk terung (Lombok), sate lilit (Bali), daging se’i (Timor).
- Tumpeng nasi merah/putih: brengkes tempoyak patin (Sumatera Selatan), lawar pakis (Bali), sate maranggi sapi (Sunda), ayam masak habang (Banjarmasin), perkedel nike (Sulawesi Utara).
- Tumpeng nasi pandan: kembung beletok (Bangka), ayam lodho (Jawa Timur), urap (Jawa), dendeng batokok (Minang), mendol (perkedel tempe khas Jawa Timur).
Ikon Kuliner Tradisional Lainnya
Ke-29 ikon kuliner tradisional lainnya yang dicanangkan pada akhir tahun 2012 itu adalah (meliputi hidangan pembuka, one-dish meal, lauk utama, kudapan, minuman, dessert).
- Asinan Betawi (Jakarta)
- Tahu Telur (Jawa Timur)
- Rawon (Jawa Timur)
- Soto Ayam Lamongan (Jawa Timur)
- Gado-gado (Jakarta, peranakan)
- Laksa (Riau)
- Anyang (Sumatera Utara)
- Gulai Cubadak (Kapau, Sumatera Barat)
- Orak-arik Buncis (Jawa)
- Sate Lilit Ikan (Bali)
- Sate Ayam (Madura)
- Sate Maranggi Sapi (Jawa Barat)
- Rendang (Minang)
- Pindang Ikan (Sumatera Selatan)
- Ayam Panggang Bumbu Rujak (Jawa Timur)
- Ayam Goreng Lengkuas (Sumatera Barat)
- Pangek Ikan Tongkol (Sumatera Barat)
- Ketan Srikaya (Sumatera)
- Surabi Kinca (Jawa Barat)
- Kolak Pisang Ubi (Nusantara)
- Dawet (Banjarnegara, Jawa Tengah)
- Lumpia Semarang (Jawa Tengah, Semarang)
- Klepon (Jawa, Bali, Sumatera)
- Nagasari (Jawa)
- Kue Lumpur (Nusantara)
- Bir Pletok (Jakarta)
- Kunyit Asam (Jawa, Bali)
- Nasi Goreng (Nusantara)
- Nasi Kuning (Nusantara)
Pilihan atas ke-30 ikon kuliner tradisional Indonesia itu dilakukan oleh kelompok kerja yang dibentuk oleh Direktur Jenderal Pengembangan Destinasi Wisata, Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, dengan melibatkan sekitar 20 praktisi dan ahli kuliner Indonesia.
Daftar ini akan terus dikembangkan guna mencakup semua kuliner tradisional Indonesia yang wajib dilestarikan.